Anak Bintang oleh Aurelia Fianastri
Ketika sang surya beranjak terbit dari ufuk timur. Lampu-lampu jalan padam, tergantikan oleh sinar matahari. Setitik embun bergantian menetes pada rumput-rumput kering. Sepinya jalan tanpa bisingnya kendaraan. Ku dengar suara adzan masih berkumandang. Kubergegas bangun, mengambil air wudhu dan mukenaku.
Aku, Nadiva Almira. Nama yang bagus bukan? Aku terlahir dalam keluarga orang-orang kecil, maksudnya bukan dari keluarga kaya ataupun pejabat. Sederhana, itulah keesimpulannya. Adikku yang manis bernama Sintia Melati, aku suka memanggilnya Sin. Adikku masih duduk dikelas 3 SD sedangkan aku kelas 2 SMP. Aku bukan kakak yang baik, tetapi aku sangat menyayangi adikku.
Ayahku bekerja sebagai penjual kayu di Pasar Minggu dan ibuku desainer terknal di kampungku, alias penjahit. Orang tuaku selalu mengajarkan untuk bersyukur atas apa yang tuhan berikan pada kita. Hidup kami penuh kebahagiaan karena rasa sayang yang tulus dan kesederhanaan.
Saat pagi datang kembali,senyumku tak pernah tertinggal tuk menghiasi wajahku yang tak semanis adikku. Aku dan adikku selalu berjalan bersama ketika berangkat sekolah. Adikku sangat pintar menulis, kalau disuruh membuat karangan adikkulah jagoannya.karena terlalu banyak karanganya, sampai- sampai merembet di tempel di dinding kamarku.
Luvia Mifta, itu nama sahabatku. Panggil saja Lulu. Dimana-mana kami bersama. Dikelas, kantin, masjid sampai ke kamar mandi pun bareng. Kami bersahabat sejak dari SD samapi SMP. Lulu jago soal hitung- hitung angka, mata pelajaran matematika dan fisika itulah keahliannya.
Hari berganti, jam – jam terlewati. Tak ada angin, tak ada hujan. Adikku sakit panas, batuk – batuk terus. Di pikiran kami, di beri obat – obat biasa nanti juga sembuh.
Satu minggu kemudian sakitnya tambah parah. Ketika dibawa ke dokter, adikku mengidap penyakit leukimia, harapan hidupnya mungkin tidak lama lagi. Aku terpaku melihat Sin tidur di rumah sakit. Sin sering bicara tentang bintang. Aku dan Sin memang suka dengan bintang. Kami ingin seperti bintang yang selalu dipandang kala malam oleh setiap orang.
Kami ingin seperti bintang, yang selalu memancarkan sinarnya di tengah – tengah langit malam menemani bulan. Begitulah bintang menurut kami. Kami sering melihat bintang di atas atap rumah. Kini hari – hariku tak seindah dulu. Ayah, Ibu dan Sin bagaikan penerangan di saat gelap dan matahari bagi kehidupan.
3 bulan berselang, tak ada perubahan. Tapi akhir – akhir ini Sin sering lkeluar melihat bintang, dia juga sering membicarakan tentang surga, aku benar – benar takut jika Sin akan di panggil tuhan. Tak terbayang kalau Sin benar – benar pindah ke surga.
Ini adalah saat – saat tidak menyenangkan. Ketika candanya hilang, senyumnya tak akan ada, karanganya telah terhenti dan bintangnya telah mati. Jantung Sin berhenti berdetak setelah operasi terakhirnya. Tak kusangka memang inilah akhir hidup Sin. Sinar bintangku meredup seketika.
Namun aku sadar, bintangku tak boleh meredup. Ia harus tetap bersinar cemerlang. Untuk Sin, akan kubuat dia tersenyum di atas sana. Aku akan belajar, berusaha dan tetap berdoa, memperbaiki hidup menjadi lebih baik lagi. Membuat semuanya seperti dulu waktu telah tiada Sin disisiku.
Aku tidak akan mengecewakan ayah ibuku, hanya karena Sin. Bagiku raganya memang telah tiada, namun jiwanya tak akan mati, jiwanya masih disini bersamaku. Suatu saat aku akan seperti bintang yang kuimpi – impikan. Karena bintangku akan tetap tersenyum bersinar cemerlang.
15 tahun kemudian. Kini aku menjadi bintang. Seorang dokter yang aku impi – impikan. Ini semua berkat semangat dari Sin. Sin, tunggu beberapa tahun lagi ya, kita akan bareng – bareng lagi. Terima kasih Sin.